Senin, 21 Desember 2009

china




RUMAH ADAT CHINA






1.Sistem kekerabatan Masyaraka China

Indonesia adalah sebuah masyarakat majemuk atau bhinneka tunggal ika, yaitu sebuah masyarakat negara yang terdiri atas masyarakat-masyarakat sukubangsa yang dipersatukan dan diatur oleh sistem nasional dari masyarakat negara tersebut.Dalam masyarakat Indonesia yang majemuk ini penekanan keanekaragaman adalah pada sukubangsa dan kebudayaan sukubangsa. Dalam masyarakat Indonesia, setiap masyarakat sukubangsa secara turun temurun mempunyai dan menempati wilayah tempat hidupnya yang diakui sebagai hak ulayatnya yang merupakan tempat sumber-sumber daya dimana warga masyarakat sukubangsa tersebut memanfaatkan untuk kelangsungan hidup mereka.

Masyarakat majemuk seperti Indonesia, bukan hanya beranekaragam corak kesukubangsaan dan kebudayaan sukubangsanya secara horizontal, tetapi juga secara vertikal atau jenjang menurut kemajuan ekonomi, teknologi, dan organisasi sosial-politiklnya (Suparlan 1979). Tanpa disadari oleh banyak orang Indonesia, sebenarnya dalam masyarakat Indonesia terdapat golongan dominan dan minoritas, Sebagaimana yang terwujud dalam tindakan-tindakan yang dilakukan terhadap mereka dalam berbagai interaksi baik interaksi secara individual maupun secara kategorikal baik pada tingkat nasional (seperti posisi orang Cina yang minoritas dibandingkan dengan pribumi) maupun pada tingkat masyarakat lokal (seperti posisi orang Sakai yang minoritas dibandingkan dengan posisi orang Melayu yang dominan di Riau) (Suparlan 1995).
Penekanan dalam masyarakat majemuk, seperti Indonesia, yaitu pada keanekaragaman sukubangsa telah menghasilkan adanya potensi konflik antar-sukubangsa dan antara pemerintah dengan sesuatu masyarakat sukubangsa.
Potensi-potensi konflik tersebut memang sebuah permasalahan yang ada bersamaan dengan keberadaan coraknya yang secara sukubangsa majemuk. Sumber dari permasalahan ini terletak pada siapa atau golongan mana yang paling berhak atas sumber-sumber daya yang ada di dalam wilayah-wilayah kedaulatan dan kekuasaan sistem nasional atau pemerintah pusat.
Pertanyaan mengenai siapa yang paling berhak atas sumber-sumber daya tersebut adalah karena sumber-sumber daya tersebut ada di dalam wilayah-wilayah hak ulayat masing-masing masyarakat sukubangsa, dan bahwa Indonesia sebagai sebuah masyarakat dan bangsa secara de jure dan de facto baru ada setelah proklamasi 17 Agustus 1945 atau lebih muda dibandingkan ndengan keberadaan masyarakat-masyarakat sukubangsa dan wilayah-wilayah hak ulayat mereka. Sehingga pemerintahan nasional berada dalam posisi yang dipertanyakan mengenai keabsahannya dalam turut meng-haki, atau bahkan mengambil alih dan memonopoli, sumber-sumber daya yang ada dalam hak ulayat masyarakat-masyarakat sukubangsa. Karena itu hubungan antara pemerintah nasional dengan masyarakat-masyarakat sukubangsa menjadi permasalahan yang kritikal dalam penyelenggaraan kehidupan berbangsa dan bernegara dan dalam kehidupan bermasyarakat pada tingkat nasional dan lokal berkenaan dengan konflik kepentingan antara pemerintah nasional dan masyarakat-masyarakat sukubangsa atas sumber-sumber daya tersebut.
Dampaknya adalah bahwa kesukubangsaan atau jatidiri sukubangsa sebagai sebuah kekuatan sosial yang tidak bisa ditawar, yang muncul dalam interaksi sosial, menjadi sebuah acuan yang ampuh dalam upaya kohesi sosial dan solidaritas diantara sesama anggota sukubangsa dalam persaingan dan perebutan sumber-sumber daya yang secara adat menjadi hak mereka. Dampak lebih lanjut dari pengaktifan dan penggunaan kesukubangsaan dalam kehidupan sosial adalah ditegaskannya batas-batas kesukubangsaan oleh masyarakat sukubangsa setempat berkenaan dengan hak tersebut, yaitu siapa yang tergolong asli pribumi setempat, siapa yang pribumi setempat tetapi tidak asli, siapa yang pendatang, dan siapa yang asing. Penggolongan kesukubangsaan ini mempunyai buntut perlakuan sosial, politik, dan ekonomi oleh masyarakat sukubangsa setempat terhadap berbagai golongan tersebut diatas berupa tindakan-tindakan diskriminasi dari yang paling ringan (digolongkan sebagai pribumi tetapi tidak asli setempat dan karena itu mempunyai posisi minoritas) sampai dengan yang terberat (orang Cina, yang digolongkan sebagai asing).
Dampak lainnya dari pengaktifan dan penggunaan kesukubangsaan untuk perebutan sumber-sumber daya adalah bahwa ideologi kesukubangsaan ini, secara sadar atau tidak sadar, juga melandasi corak kegiatan dari sistem nasional. Ide bahwa orang Cina itu secara kesukubangsaan adalah asing lebih dominan dibandingkan dengan ide dan kenyataan bahwa orang Cina itu adalah warganegara Indonesia. Sehingga yang terjadi adalah, walaupun orang Cina itu sudah menjadi warganegara Indonesia tetapi tetap juga didiskriminasi secara hukum dan secara sosial.
Tulisan ini ingin menunjukkan bahwa diskriminasi secara legal atau hukum dan sosial terhadap orang Cina di Indonesia adalah produk dari interaksi antara dominannya ideologi kesukubangsaan orang Indonesia pribumi pada tingkat nasional dengan kesukubangsaan Cina sebagai asing, dalam konteks-konteks persaingan dan perebutan sumberdaya. Uraian dalam tulisan ini akan mencakup pembahasan mengenai hakekat masyarakat majemuk dan dominannya ideologi kesukubangsaan, kesukubangsaan sebagai kekuatan sosial yang muncul dan digunakan dalam interaksi, masalah pribumi asli sebagai lawan dari tidak asli dan asing dan berbagai dampak diskriminatifnya

Dalam setiap interaksi, jatidiri akan nampak karena adanya atribut-atribut yang digunakan oleh pelaku dalam mengekspresikan jatidirinya sesuai dengan hubungan status atau posisi masing-masing (Suparlan 1999a).Dalam hubungan antar-sukubangsa atribut dari jatidiri sukubangsa adalah ciri-ciri fisik atau rasial, gerakan-gerakan tubuh atau muka, dan ungkapan-ungkapan kebudayaan, nilai-nilai budaya serta keyakinan keagamaan. Seseorang yang dilahirkan dalam keluarga sesuatu sukubangsa maka sejak dilahirkannya mau tidak mau akan terpaksa harus hidup dengan berpedoman pada kebudayaan sukubangsanya sebagaimana yang digunakan oleh orangtuanya dan keluarganya dalam merawat dan mendidiknya sehingga menjadi manusia sesuai dengan konsepsi kebudayaannya tersebut.

Sadar atau tidak sadar seseorang tersebut hidup berpedomankan pada kebudayaan sukubangsanya, yang dalam proses-proses pembelajarannya dari masa anak-anak sehingga dewasa dia tidak mempunyai pilihan lain kecuali harus hidup menurut kebudayaan sukubangsanya yang dipunyai oleh orang tuanya tersebut. Dia harus tahu, memahami, dan meyakini, serta menggunakan kebudayaan tersebut sebagai pedoman bagi kehidupannya dalam menghadapi dan menginterpretasi lingkungannya, dan untuk dapat memanfaatkan berbagai sumber daya yang ada di dalamnya bagi kelangsungan hidupnya. Dalam perspektif ini, dimana seseorang itu mempunyai kebudayaan sukubangsanya seperti 'dipaksa' mulai sejak kelahirannya, maka kebudayaan sukubangsa juga bercorak askriptif.seperti kesukubangsaannya. Karena itu kebudayaan sukubangsa, bagi anggota-anggota sukubangsa yang bersangkutan, adalah sebuah pedoman bagi kehidupan yang primordial atau yang pertama dipelajari dan diyakini kebenarannya serta yang utama di dalam kehidupan mereka, atau sudah mendarah daging dalam kehidupan mereka.
Termasuk dalam kategori pembelajaran kebudayaan sukubangsa yang diberikan oleh orang tua, keluarga, dan komuniti sukubangsanya yang juga bercorak 'dipaksakan' adalah pelajaran agama dari oang tua, keluarga, dan komuniti sukubangsa tersebut. Agama sebagai teks suci yang berisikan petunjuk-petunjuk Tuhan yang wajib diikuti, yang sebaiknya dihindarai, dan yang wajib dihindari atau dilarang untuk dilakukan menjadi operasional dalam kehidupan manusia melalui dan ada dalam kebudayaan manusia dan pranata-pranata sosial masyarakatnya. Dengan kata lain, petunjuk-petunjuk Tuhan tersebut diinterpretasi dan dipahami dengan menggunakan acuan kebudayaannya, untuk dijadikan sebagai pedoman bagi kehidupan yang tidak bertentangan dengan kebudayaan yang sudah ada, atau sebaliknya yaitu sebagian atau sebagian besar nilai-nilai budaya yang sudah ada itu disesuaikan dengan nilai-nilai keagamaan yang diyakini kebenarannya. Agama sebagai teks suci yang berisikan nilai-nilai sakral biasanya menggantikan sebagian atau seluruh nilai-nilai budaya yang menjadi inti dan yang mengintegrasikan keutuhan dari sesuatu kebudayaan sukubangsa. Dalam keadaan demikian nilai-nilai budaya yang ada dalam sesuatu masyarakat sukubangsa menjadi diperkuat posisi dan daya paksanya untuk terwujudnya keteraturan kehidupan yang adil dan beradab di dalam kegiatan sehari-hari karena dimuati oleh berbagai sanksi sakral yang ada dalam agama yang diyakini. Bagi setiap anggota sukubangsa, nilai-nilai budaya yang sakral atau nilai-nilai keagamaan yang ada dalam keyakinan keagaman mereka adalah sesuatu yang primordial. Coraknya sama dengan corak primordial dari kesukubangsaan dan kebudayaan sukubangsa.

Dengan kata lain, sesungguhnya masyarakat Indonesia yang berdasarkan atas kebangsaan tetapi yang majemuk mempunyai sistem nasional yang askriptif dan primordial secara kesukubangsaan. Dalam perspektif ini tidak ada seorangpun yang dapat menjadi orang Indonesia tanpa harus menjadi anggota dari salah satu sukubangsa yang ada di Indonesia dan yang digolongkan sebagai pribumi. Karena itu tidaklah mengherankan bahwa program asimilasi atau pembauran yang dilakukan oleh pemerintahan Orde Baru menjadi gagal berantakan (Thung Yu Lan 1999a). Karena walaupun orang Cina telah berganti nama menjadi nama Jawa, Sunda, atau Batak, dsbnya., tetapi tetap saja orang-orang Cina ini digolongkan sebagai orang Cina dan bukan sebagai orang Indonesia yang pribumi.Begitu juga dalam kasus orang Cina yang telah berganti agama menjadi Islam, tetap saja digolongkan sebagai orang Cina, dan bahkan ke-Islamannya dicurigai oleh sebagian orang sebagai hanya sebuah strategi untuk dapat berbisnis secara lebih leluasa dan menguntungkan di bawah label orang Islam
Disamping kenyataan seperti tersebut diatas berkenaan dengan kegagalan program pembauran, konsep pembauran itu sendiri juga tidak jelas. Orang Cina mau dibaurkan atau diasimnilasisakan ke dalam masyarakat Indonesia atau masyarakat sukubangsa? Apakah yang namanya pembauran itu asal ganti nama atau ganti agama? Dalam kenyataannya, yang kontradiktif dengan program asimilasi atau pembauran yang disponsori oleh pemerintah Indonesia, pemerintah Indonesia sendiri sampai dengan beberapa waktu yang lalu masih mendiskriminasi secara hukum orang-orang Cina yang warganegara Indonesia atau WNI, yaitu dengan cara diberi kode khusus di KTP berdasarkan identifikasi ke Cinaan tersebut.
Ada dugaan bahwa berdasarkan kode tersebut pejabat pemerintah setempat dapat melakukan berbagai tindakan diskriminatif dan pemerasan. Begitu juga sampai dengan sekarang masih terdapat ketentuan hukum yang mewajibkan seorang anak Cina, yang orang tuanya adalah warga negara Indonesia, harus secara aktif memohon kewarganegaraan Indonesia kepada pemerintah. Atau kalau hal itu tidak dilakuknnya maka si anak Cina tersebut digolongkan sebagai warga negara asing atau tidak berkewarganegaraan.

Kesukubangsaan Sebagai Kekuatan Sosial

Tidak dapat disangkal bahwa kesukubangsaan dapat dilihat sebagai kekuatan sosial untuk menciptakan terwujudnya kohesi sosial diantara sesama anggota sukubangsa, dan kohesi sosial ini dapat diaktifkan dan diarahkan sebagai solidaritas sosial yang mempunyai kekuatan sosial yang memaksakan diberlakukannya sesuatu kenbijaksanaan politik atau ekonomi, memenangkan sesuatu persaingan untuk memperebutkan sumber daya, atau untuk menghancurkan sesuatu kelompok sukubangsa lain yang menjadi lawan.  Kesukubangsaan sebagai kekuatan sosial tidak dapat ditawar atau diremehkan (non negotiable) pada saat kesukubangsaan tersebut terwujud sebagai sebuah solidaritas sosial.

Dari satu segi, kesukubangsaan sebagai kekuatan sosial mirip dengan keyakinan keagamaan.  Karena keyakinan keagamaan pada waktu terwujud sebagai sebuah solidaritas sosial juga tidak dapat ditawar atau diremehkan.  Kedua-duanya mempunyai potensi merusak yang sama besarnya di dalam konflik antar-sukubangsa atau antar-keyakinan keagamaan.  Tetapi dari segi lain, kesukubangsaan dan keyakinan keagamaan tidaklah sama.  Karena kesukubangsaan mempunyai efektivitas kekuatan sosial dalam batas-batas sesama anggota sukubangsa, sedangkan keyakinan keagamaan mempunyai jangkauan solidaritas sosial hanya dalam salah satu segmen masyarakat sukubangsa, dalam sesuatu masyarakat sukubangsa, atau di luar batas-batas sesuatu masyarakat sukubangsa.  Karena itu, di satu sisi, keyakinan keagamaan dapat memperkuat atau memperlemah kekuatan sosial dari kesukubangsaan, sedangkan di sisi lain kesukubangsaan dapat tunduk dan berada di bawah bayang-bayang kekuatan keyakinan keagamaan.

.
Bruner (1974) pada waktu membahas teorinya mengenai 'hipotesa kebudayaan dominan' sebenarnya berbicara mengenai kesukubangsaan sebagai sebuah kekuatan sosial politik (lihat Suparlan 1999).  Salah satu kekuatan kesukubangsaan yang dapat dilihat dan diamati sebagai bagian dari kehidupan sehari-hari dari sebuah masyarakat sukubangsa adalah kemampuannya untuk menentukan macam mata pencaharian yang dapat dikerjakan oleh pendatang dari sukubangsa lain.  Bila pelanggaran dilakukan maka konflik antar sukubangsa dapat terwujud, seperti dalam kasus Kalimantan Barat dan Ambon (Suparlan 2000a, 2000b, 2001).

Di masa lampau hanya di kota-kota besar terdapat kehidupan masyarakat yang kesukubangsaannya beranekaragam. Tetapi pada masa sekarang hampir seluruh wilayah Indonesia secara sukubangsa adalah heterogen, dimana anggota-anggota sukubangsa dari berbagai sukubangsa dan daerah yang berbeda-beda telah secara berdampingan hidup dalam komuniti-komuniti dari kelompok-kelompok sukubangsa setempat. Sehingga hubungan antar-sukubangsa menjadi lebih intensif daripada di masa lampau, dan hal ini dapat menyebabkan berbagai permasalahan berkenaan dengan pengakomodasian perbedaan-perbedaan budaya antara pendatang dengan penduduk setempat karena hampir semua pendatang yang hidup di komuniti-komuniti setempat mempunyai kebudayaan ekonomi yang lebih maju dan lebih agresif. Permasalahan hubungan antara pendatang dengan masyarakat setempat terpusat pada masalah kompetisi untuk memperebutkan sumber-sumber daya. Tingkat agresifitas secara ekonomi dari para pendatang adalah masalah yang paling kritikal dalam persaingan untuk memperebutkan sumber-sumber daya yang ada setempat. Karena, masyarakat setempat melihat diri mereka sebagai tuan rumah serta pemilik atas sumber-sumber daya alam yang ada di dalam wilayah hak ulayat mereka sedangkan para pendatang dilihat sebagai tamu mereka.

Komuniti dan masyarakat sukubangsa setempat yang mayoritas dan dominan menekankan penggunaaan prinsip "dimana bumi dipijak langit dijunjung" sebagai acuan yang harus dijadikan pedoman oleh para pendatang.  Secara langsung atau tidak langsung komuniti dan masyarakat sukubangsa setempat mendiskriminasi para pendatang dalam hak dan kewajiban berkenaan dengan upaya eksploitasi dan penguasaan atas sumber-sumber daya yang ada setempat serta pendistribusiannya. Dalam keadaan dimana prinsip tersebut tidak lagi ditaati oleh para pendatang anggota masyarakat setempat dapat memberi peringatan atau melaporkannya kepada polisi setempat.  Tetapi dalam keadaan dimana pelanggaran yang dilakukan oleh pendatang telah melampaui kelaziman hubungan 'tamu' dengan 'tuan rumah' nya, anggota-anggota komuniti dan masyarakat setempat mengaktifkan dan menggunakan kesukubangsaan untuk mengorganisasi diri mereka sebagai satuan-satuan perang, seperti yang telah terjadi di Kalimantan Barat, Ambon, dan Kalimantan Tengah.

Orang Cina yang telah datang ke Indonesia selama berabad-abad dan terus berdatangan hingga sekarang ke berbagai tempat di Indonesia menempati posisi sebagai tamu dalam prinsip "dimana bumi dipijak dan langit dijunjung" yang ditekankan oleh komuniti dan masyarakat sukubangsa setempat.  Karena itu di masa lampau hampir dapat dikatakan tidak ada konflik antara masyarakat sukubangsa setempat dengan orang Cina.  Hubungan kawin-mawin antara orang-orang Cina dengan perempuan pribumi setempat telah memungkinkann berubahnya status 'tamu' menjadi kerabat dari anggota-anggota masyarakat sukubangsa setempat.  Perubahan status ini telah memungkinkan berubahnya status 'tamu' menjadi orang sendiri yang dalam batas-batas tertentu telah memungkinkan keturunan mereka itu juga mempunyai hak-hak atas tanah dari kelompok kerabat setempat.

Diantara orang-orang Cina yang hidup di Indonesia yang secara relatif terbebas dari posisinya sebagai tamu adalah komuniti orang Cina di Singkawang.  Orang Cina yang sekarang hidup di Singkawang adalah keturunan dari nenek moyangnya yang telah datang ke tempat ini dan sekitarnya karena tertarik pada adanya emas di Monterado dan Mandor.  Mereka telah datang dan menetap di Singkawang sebelum adanya orang Melayu atau Dayak yang menetap di daerah tersebut.  Di masa lampau mereka ini merupakan komuniti-komuniti yang masing-masing berdiri sendiri berdasarkan atas kesukubangsaan dan asal daerah di Cina, yang menjalin hubungan diantara sesama komuniti tersebut, disamping menjalin hubungan baik dengan kesultanan Sambas dan dengan masyarakat Dayak yang ada di sekeliling Singkawang.  Pada masa sekarang, mereka ini diperlakukan oleh pemerintah Indonesia sebagai warga negara Indonesia keturunan asing, dan bersamaan dengan itu berbagai peraturan mengenai kewarganegaraan tersebut diberlakukan terhadap mereka, sama dengan yang dibelakukan terhadap orang-orang Cina di Indonesia.  Kalau di masa lampau posisi mereka di Singkawang seperti pribumi, maka posisi mereka sekarang ini adalah seperti orang asing yang menjadi tamu di wilayah orang Melayu dan Dayak.

Pribumi dan Non-Pribumi Posisi Orang Cina

Konsep asli yang dibedakan dari non-asli dan pribumi lawan dari non-pribumi merupakan konsep-konsep penting dari kesukubangsaan yang ada dalam kehidupan masyarakat-masyarakat sukubangsa di Indonesia. Dengan mengacu pada konsep-konsep ini, berbagai bentuk keteraturan sosial diciptakan dan dimantapkan, dan di dalam keteraturan sosial tersebut tercakup hubungan antara mereka yang dominan dan yang minoritas Dalam hubungan dominan-minoritas tersebut terdapat berbagai bentuk diskriminasi oleh yang dominan terhadap yang minoritas.

Di Kalimantan Barat, terutama di kota Pontianak dan Singkawang serta di daerah-daerah sekitarnya terdapat komuniti-komuniti orang Cina. Mereka yang di daerah perkotaan terutama hidup dari berdagang dan berbagai kegiatan jasa dan buruh, sedangkan yang hidup di daerah pedesaan dari bertani, menangkap ikan, disamping menjadi pedagang dan buruh. Mereka mengelompok dalam komuniti-komuniti asal daerah mereka di Cina, mempertahankan kebudayaan dan bahasa asal mereka, disamping mengadaptasi diri dengan kebudayaan Melayu setempat. Mereka juga mempertahankan keyakinan keagamaan Konghucu dan pemujaan ritual kepada nenek moyang, walaupun di masa Orde Baru mereka itu menyembunyikan keyakinan keagamaan ini di bawah label agama Budha.
Orang-orang Cina di Indonesia menikmati masa-masa yang relatif tenang sampai dengan tahun 1960, yaitu sampai dengan ketika pemerintah Indonesia memutuskan untuk membedakan antara yang warga negara Indonesia dan warganegara asing, dan antara yang ingin tetap tinggal di Indonesia dan yang ingin kembali ke negeri leluhurnya RRC. Secara sosial tidak jelas adanya diskriminasi terhadap Cina sebagai golongan, walaupun secara individual hal itu bisa terjadi.

Sebaliknya, orang Cina juga menciptakan batas-batas sukubangsa yang dilakukannya diantara mereka yang berasal dari golongan sukubangsa atau asal daerah yang berbeda di Cina, dan yang berbeda secara strata sosial karena perbedaan kemampuan ekonomi. Dan, menciptakan serta memantapkan batas-batas sukubangsa dengan masyarakat sukubangsa setempat dimana mereka itu hidup. Jarak sosial dan budaya dengan masyarakat sukubangsa setempat ini lebih dipertegas pada waktu keyakinan keagamaan mereka yang memperbolehkan memakan daging babi dipertentangkan dengan keyakinan Islam dari masyarakat sukubangsa setempat.  Walaupun terjadi batas-batas
.
Masyarakat Indonesia yang majemuk, yang penekanannya pada pentingnya kesukubangsaan, akan selalu menempatkan posisi orang Cina sebagai orang asing walupun orang Cina tersebut berstatus sebagai WNI.  Upaya-upaya secara sosial, ekonomi, dan politik dari orang Cina di Indonesia dalam menunjukkan bahwa mereka itu bagian dari masyarakat Indonesia dan yang menunjukkan bahwa mereka itu orang Indonesia adalah yang utama.  Masalah ini menuntut dilakukannya kajian-kajian secara mendalam baik oleh para cendekiawan dan tokoh-tokoh Cina di Indonesia maupun oleh ilmuwan sosial yang mempunyai perhatian mengenai hal itu.

Secara hipotetis mengingat corak masyarakat Indonesia yang menekankan kesukubangsaan dan afiniti mungkin dua isyu dapat didiskusikan, yaitu:  apakah orang Cina di Indonesia harus diperlakukan sebagai sebuah sukubangsa, atau orang Cina di Indonesia dilihat sebagai bagian dari sukubangsa-sukubangsa setempat dimana mereka itu telah dan sedang hidup di dalam masyarakatnya. 




































2.Sistem Kepercayaan Orang Cina
Pada dasarnya pandangan berpikir orang Cina selalu mengembalikan hakekat keharmonisan antara kehidupan “langit” (alam gaib) dan kehidupan di bumi (alam dunia nyata). Mereka percaya bahwa alam semesta ini sebagai akibat dari inkarnasi kekuatan alam. Alam dikuasai oleh spirit-spirit yang kekuatannya luar biasa. Alam semesta semata-mata hanyalah ekspresi dari kekuatan-kekuatan alam yang dipengaruhi oleh spirit-spirit yang mendiami alam. Beberapa spirit itu berada dan hidup di dalam fenomena-fenomena alam seperti langit, matahari, tanah, air, tumbuh-tumbuhan, gunung, serta fenomena-fenomena alam lainnya. Di antara spirit-spirit alam itu adalah spirit yang berasal dari arwah leluhur yang kekuatan hidupnya sangat besar, sekeluarga dapat melanjutkan kekekalan hidupnya setelah jasad jasmaniahnya mati.

Menurut dasar pikiran orang Cina, seluruh fenomena alam itu dapat dibagi dua klasifikasi yaitu yang dan yin. “Yang” merupakan prinsip dasar untuk laki-laki, matahari, arah selatan, panasnya cahaya (siang), dan segala yang termasuk keaktifan, sedangkan “yin” adalah suatu prinsip seperti: wanita, bulan, arah utara, dingin, gelap (malam), dan segala yang bersifat pasif. Orang Cina beranggapan bahwa manusia harus dapat menyesuaikan diri dengan ritme alam semesta. kehidupan harus harmonis dengan tiga dasar yaitu: kehidupan langit, bumi, dan kehidupan manusia itu sendiri.



Di samping itu harus disesuaikan pula dengan fengsui yang berarti angin dan air. Penyesuaian itu berarti hidup manusia itu harus disesuaikan dengan arah angin dan keadaan air di mana manusia bertempat tinggal. Tiap bangunan yang dipergunakan harus pula disesuaikan dengan keadaan fengsui, sehingga akan terhindar dari segala malapetaka.

Kedua prinsip yin dan yang ini merupakan nafas dan kekuatan yang dilambangkan dalam bentuk lingkaran yang dibagi dalam dua bagian dengan garis yang saling melingkar yang memisahkan yang dan ying. Bulatan melambangkan prinsip alam semesta, dimana alam semesta ini terwujud oleh karena kedua prinsip kesatuan antara yang dan yin. “Yang” merupakan daya cipta suatu sifat Tuhan yang memberi gerakan dan hidup kepada sesuatu. “Yin” bersifat bahan atau zat yang diberi kemampuan menerima “yang”, sehingga terjadilah hidup dan bergerak. Dengan kata lain, “yang” bersifat memberi dan memperbanyak, sedangkan “yin” bersifat menerima dan menyimpan. Adanya kesatuan hidup ini terjelmalah fenomena alam semesta seperti: air, kayu, bumi, dan makhluk hidup di dalamnya. Penciptaan dan pergerakan kesatuan yang dan yin tunduk dan mengikuti hukum tata kehidupan alam semesta, sehingga dengan demikian bergerak dengan teratur dan berirama. Ritme ini mengisi dan mengatur setiap ruangan di alam semesta ini seperti jalannya matahari, bintang, bulan, pergantian musim, dan lain-lain. Ritme ini disebut tao yaitu bagaimana sesuatu di dunia itu dijadikan dan jalan bagaimana orang harus mengatur hidup. Tao adalah jalan Tuhan. Dasar demikian inilah yang selanjutnya menimbulkan paham Taoisme.

Dalam kehidupan orang Cina, ada tiga ajaran yang mereka anut yaitu Toisme, Konfusianisme, dan Buddha. Ketiga ajaran ini sudah saling menyatu (sinkretisme) dan dikenal dengan nama San Jiao atau Sam Kauw (dialek Hokkian). Dalam kehidupannya, orang Cina memang sangat toleran terhadap soal-soal agama. Setiap agama dianggap baik dan bermanfaat, begitu pula dengan ajaran Taoisme, Konfusianisme, dan Buddha yang mempunyai banyak kesamaan-kesamaan pandangan dan saling membutuhkan sehingga ketiga ajaran tersebut berpadu menjadi satu.

Toisme
Taoisme merupakan ajaran pertama bagi orang Cina yang dikemukakan Laotze. Ia dilahirkan di Provinsi Hunan pada tahun 604 SM. Dikisahkan, Laotze merasa amat kecewa akan kehidupan dunia, sehingga ia memutuskan untuk pergi mengasingkan diri dengan tidak mencampuri urusan keduniawian. Ia kemudian menulis kitab Tao Te Ching yang kelak menjadi dasar pandangan ajaran Taoisme. Tao berarti “jalan” dan dalam arti luas yaitu realitas absolut, yang tidak terselami, dasar penyebab, dan akal budi. Kitab Tao Te Ching memuat ajaran bahwa seharusnya manusia mengikuti geraknya (hukum alam) yaitu dengan menilik kesederhanaan hukum alam. Dengan Tao manusia dapat menghindarkan diri dari segala keadaan yang bertentangan dengan irama alam semesta. Taoisme diakui sebagai suatu pre-sistematik berpikir terbesar di dunia yang telah mempengaruhi cara berpikir orang Cina.
Haryono (1994), menyimpulkan bahwa pada dasarnya filsafat Taoisme dibangun dengan tiga kata, yaitu:

1.Tao Te, “tao” adalah kebenaran, hukum alam, sedangkan “te” adalah kebajikan. Jadi Tao Te berarti hukum alam yang merupakan irama dan kaidah yang mengatur bagaimana seharusnya manusia menata hidupnya.
2.Tzu-Yan artinya wajar. Manusia seharusnya hidup secara wajar, selaras dengan cara bekerja sama dengan alam.
3.Wu-Wei berati tidak campur tangan dengan alam. Manusia tidak boleh mengubah apa yang sudah diatur oleh alam.



Pada zaman pertengahan dinasti Han muncul seorang yang bernama Zhang Dao-ling, yang juga menulis kitab Tao. Ia juga menyembuhkan orang sakit, membuat jimat sehingga banyak orang yang kemudian menjadi pengikutnya. Begitu besar pengaruhnya hingga pada akhirnya ajaran-ajarannya menjadi dasar dari agama Tao yang kemudian disebut Tao-Jiao. Di dalam penerapannya, aliran mereka berbeda dengan ajaran Tao yang dilontarkan oleh Laotze. Jika Laotze mengajarkan hidup selaras dengan alam, Tao-Jiao justru mengajarkan upaya untuk menentang kehendak alam. Usaha ini mereka lakukan dengan jalan melakukan tapa untuk hidup abadi, membuat jimat-jimat dan kias guna menolak pengaruh jahat, sakit, penyakit, dan sebagainya (Setiawan, dkk, 1982: 156-157). Dalam prakteknya, perwujudan ajaran Tao-Jiao antara lain berupa atraksi-atraksi seperti berjalan di atas bara api, memotong lidah, dan perayaan-perayaan tertentu.

Konfusianisme
Konfusianisme atau Konghuchu mulai dikenal di Cina melalui pemikiran-pemikirannya yang cemerlang yang dilontarkan pada zaman Chou Timur (770-221 SM). Konghuchu lahir pada tahun 551 SM berasal dari kota Lu, Provinsi Shandong. Pada masa itu dinasti Chou tengah kehilangan kendali terhadap para tuan tanah yang menempati hampir setengah bagian dari wilayah Cina. Konghuchu dibesarkan oleh ibunya karena ia sudah kehilangan ayahnya ketika masih berusia tiga tahun. Ketika dewasa dan bekerja sebagai pegawai di kuil bangsawan Zhou, ia mengikuti semua detail-detail yang terdapat dalam perayaan yang akhirnya menjadikannya sebagai seorang yang ahli dalam ritual agama kuno.

Konfusianisme adalah humanisme, tujuan yang hendak dicapai adalah kesejahteraan manusia dalam hubungan yang harmonis dengan masyarakatnya. Kodrat manusia menurut konfusius adalah “pemberian langit”, yang berarti bahwa dalam hal tertentu ia berada di luar piliham manusia. Kesempurnaan manusia terletak dalam pemenuhannya sebagai manusia yang seharusnya. Moralitas merupakan realisasi dari rancangan yang ada dalam manusia. Oleh karena itu, tujuan manusia yang paling tinggi adalah menemukan petunjuk sentral bagi moral yang mempersatukan manusia dengan seluruh isi alam semesta. Bagi Konfusius, manusia adalah baian dari konstitutif dai seluruh isi alam semesta. Manusia harus berhubungan secara indah dan harmonis dengan harmoni alam di luarnya. Ungkapan yang paling terkenal yang merupakan inti ajarannya yaitu tidak berbuat kepada orang lain apa yang dia tidak sukai orang lain perbuatan pada dirinya. Secara praktis ajaran Konfusius dapat disimpulkan menjadi tiga pokok yaitu:

1.Pemujaan terhadap Tuhan (Thian)
Konfusius mengajarkan keyakinan kepada pengikutnya bahwa Thian atau Tuhan menjadi awal atas sumber kesadaran alam semesta dan segalanya. Ia menekankan bahwa amat perlu untuk melakukan sembahyang korban terhadap Thian. Pengertian Tuhan dalam kepercayaan Tionghoa sebenarnya juga tidak berbeda dengan agama-agama yang lain yaitu sebagai pencipta alam semesta dan segala isinya. Dalam kepercayaan kalangan rakyat, Tuhan biasanya disebut sebagai Thian atau Shangdi atau Siang Te (dialek Hokkian). Thian adalah penguasa tertinggi alam semesta ini. Karena itu, kedudukan-Nya berada di tempat yang paling agung, sedangkan para dewa dan malaikat yang lain adalah para pembantunya dalam menjalankan roda pemerintahan di alam semesta ini, sesuai dengan fungsinya masing-masing

Di dalam sistem pemerintahan ini, merupakan cerminan dari prinsip Yin dan Yang, yang diwujudkan dalam bentuk pemerintahan di dunia dan pemerintahan surga yang dilakukan oleh para dewa yang dipuncaki oleh Shangdi. Rakyat percaya pemerintahan surga memiliki struktur yang sama dengan pemerintahan dunia. Kalau pemerintahan dunia terdiri dari kaisar, para keluarganya, perdana menteri, menteri-menteri sipil dan militer, dan lain sebagainya, maka pemerintahan surga pun dipimpin oleh Shangdi dan dibantu para dewa-dewa baik sipil maupun militer untuk mengatur tata tertib di alam semesta ini. Sebab inilah maka para kaisar (hung-di) yang di bumi merasa perlu untuk memuja Shangdi (yang berkedudukan di atas) untuk memohon perlindungan dan berkah serta petunjuk-petunjuk untuk menjalankan roda pemerintahan di mayapada ini agar selalu selaras dengan kehendak Shangdi (Shang=di atas, di=tanah).

2.Pemujaan terhadap leluhur
Pemujaan terhadap leluhur adalah menolong seseorang untuk mengingat kembali asal-usulnya. Di sini asal mula manusia adalah dari leluhurnya. Upacara pemujaan terhadap leluhur di sini diperlukan sesaji. Sebagian besar aktifitas rumah tangga dalam keluarga Cina selalu berhubungan dengan roh leluhur. Salah satu fungsi utama dalam keluarga adalah melakasanakan pemujaan terhadap leluhur. Pemujaan leluhur dipandang sebagai perwujudan dari bakti anak terhadap orang tua dan leluhurnya (Xiao). Pelaksanaan upacara pemujaan leluhur dalam keluarga dipimpin oleh ayah sebagai kepala keluarga. Keluarga Cina menganut garus keturunan dari pihak ayah atau disebut patrilineal. Garis keturunan sangat penting bagi mereka guna menjaga kelangsungan keluarga. Oleh karena itu, anak laki-laki sangat penting untuk meneruskan garis keturunan.

3.Penghormatan terhadap Konfusius
Bagi orang Cina merupakan kewajiban mereka untuk menghormati Konghuchu yang mereka anggap sebagai guru besar seperti halnya penghormatan terhadap orang tua. Konghuchu dianggap telah berjasa dalam mengajarkan dasar-dasar ajaran moral yang sampai sekarang masih terus diterapkan. Filsafatnya yang pada akhirnya menyatu dengan kehidupan masyarakat Cina membuat secara keseluruhan ajaran Konfusius lebih banyak ditujukan kepada manusia sebagai makhluk hidup.


Buddhisme

Agama Buddha sudah menjadi bagian dari filosofi Cina selama hampir 2000 tahun. Meskipun Buddha bukanlah merupakan agama asli, melainkan pengaruh dari India, tetapi ajaran Buddha mempunyai pengaruh yang cukup berarti pada kehidupan orang Cina. Tema pokok ajaram agama Buddha adalah bagaimana menghindarkan manusia dari penderitaan (samsara). Kejahatan adalah pangkal penderitaan. Manusia yang lemah, tidak berpengetahuan (akan Buddhisme) akan sangat mudah terkena kejahatan dan sulit untuk membebaskan diri dari penderitaan.
Pendiri agama Buddha adalah Sidharta Gautama. Ia dilahirkan dari keluarga bangsawan di India. Sewaktu kecil, ayahnya menjauhkan Sidharta dari segala macam bentuk penderitaan dunia, sampai pada suatu hari secara tidak sengaja ia melihat orang-orang yang selama ini belum dilihatnya yaitu orang-orang tua, seorang yang sakit dan yang meninggal. Kenyataan tersebut membuatnya kemudian meninggalkan istana dan bertapa di bawah pohon bodhi. Setelah bertapa selama enam tahun akhirnya ia memperoleh pencerahan dengan menemukan obat penawar bagi penderitaan, jalan keluar dari lingkaran tanpa akhir yaitu melalui kelahiran kembali kepada suatu jalan menuju Nirwana. Jalan ini yang kemudian dikenal juga sebagai inti dari ajaran Buddha.



Buddhisme masuk ke Cina kira-kira abad 3 Masehi, pada masa pemerintahan dinasti Han. Buddhisme selanjutnya mengalami perkembangan sendiri di negara tersebut. Ajarannya di Cina mendapat pengaruh dari kepercayaan yang sudah ada sebelumnya yaitu Taoisme dan Konfusiansianisme. Hal yang paling kentara dari percampuran ini ialah dengan munculnya sekte Shan, yang juga muncul di Jepang dengan nama Zen yang merupakan Buddhisme India bercorak Taoisme Cina. Wujud dari agama ini adalah timbulnya versi-versi signifikan dari dewata-dewata buddha, seperti Avalokitecvara, Maitreya, dan sebagainya. Avalokitecvara berubah menjadi Dewi Welas Asih (Guan Yin atau Kwan Im). Dewi ini sangat populer sekali di kalangan orang Cina, tempat orang memohon pertolongan dalam kesukaran, memohon keturunannya, dan lain sebagainya. Kwan Im dalam penampilannya mempunyai 33 wujud, diantaranya yang paling populer adalah Kwan Im berbaju putih, Kwan Im membawa botol air suci, dan Kwan Im bertangan seribu. Dalam Avalokitecvara, Maitreya juga mempunyai wujud lain di Cina yaitu Mi le fo, seorang yang bertubuh gemuk dan raut muka yang selalu tertawa. Dewa ini dikenal sebagai dewa pengobatan.
Selain dewata-dewata Buddhis, di dalam sistem kepercayaan rakyat Cina mengenal tiga penggolongan utama dewata, yaitu:

1.Dewata penguasa alam semesta yang mempunyai wilayah kekuasaan di langit. Para dewata golongan ini dipimpin oleh dewata tertinggi yaitu Yu Huang Da Di, Yuan Shi Tian Sun, dan termasuk di dalamnya antara lain dewa-dewa bintang, dewa kilat, dan dewa angin.
2.Dewata penguasa bumi yang memiliki kekuasaan di bumi, walau sebetulnya mereka termasuk malaikat langit. Kekuasaan mereka adalah dunia dan manusia, termasuk akhirat. Mereka dikatakan sebagai para dewata yang menguasai Wu-Xing (lima unsur), yaitu:
kayu (dewa hutan, dewa kutub, dan lain sebagainya)
api (dewa api, dewa dapur)
logam (dewata penguasa kekayaan dalam bumi)
air (dewa sumur, dewa sungai, dewa laut, dewa hujan, dan lain sebagainya)
tanah (dewa bumi, dewa gunung, penguasa akhirat, dewa pelindung kota, dan lain sebagainya)
3.Dewata penguasa manusia, yaitu para dewata yang mengurus soal-soal yang bersangkutan dengan kehidupan manusia seperti kelahiran, perjodohan, kematian, usia, rezeki, kekayaan, kepangkatan dan lain sebagainya. Termasuk dalam golongan dewata penguasa manusia ini adalah para dewata pelindung usaha pertokoan, dewata pengobatan, dewata pelindung, dan peternakan ulat sutra. Di samping itu, terdapat dewata-dewata kedaerahan yang menjadi pelindung masyarakat yang berasal dari daerah yang sama.



2.Pola Kampung Tradisional China

Masalah pokok yang akan dibahas dalam tulisan ini adalah pola asimilasi etnis Cina dalam kehidupan sehari-hari, yang terkait pada bidang politik, organisasi sosial kemasyarakatan, bahasa dan kebiasaan sehari-hari, perdagangan, agama, dan perkawinan. Karakteristik yang akan digambarkan adalah karakteristik umum etnis Cina dan karakteristik yang khas dari etnis Cina Bengkulu. Sedangkan pola asimilasi mereka menyangkut asimilasi yang terjadi secara alamiah dan asimilasi berdasarkan kepentingan-kepentingan tertentu, yang pada akhirnya menjadi alami karena mengalami perkembangan yang baik, tidak merasa terpaksa dan tidak ada pihak yang merasa dirugikan.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui karakter khusus etnis Cina, yang membentuk pola asimilasi mereka dengan etnis pribumi di Kota Bengkulu, pembentuk dan penghambat asimilasi serta sejauh mana lingkungan mempengaruhi terbentuknya pola asimilasi tersebut, yang juga secara timbal balik berpengaruh pada perkembangan kehidupan mereka. Adapun manfaat dari penelitian ini adalah memberi masukan atau informasi untuk memudahkan proses asimilasi dan pemecahan konflik yang sering terjadi antara etnis Cina dan etnis pribumi. Metode Penelitian yang digunakan adalah Metode Kualitatif Historis sebagai metode dasar (basic method) dalam penelitian sejarah. Metode Sejarah ini terdiri dari 4 tahap, yaitu heuristik, keritik (ekstern dan intern), sintesis-analisis, dan penulisan sejarah.

Orang Cina di Kampung Cina dan daerah-daerah lainnya di Kota saat ini jumlahnya tidak begitu banyak. Dari jumlah yang sedikit tersebut jika dibandingkan dengan masyarakat pribumi, terbagi ke dalam dua kelompok berdasarkan asal kelahiran dan lamanya tinggal di Kota Bengkulu. Kelompok pertama adalah orang Cina yang lahir dan telah lama tinggal menetap di Kota Bengkulu, yaitu disebut Cina asli. Kelompok kedua adalah kelompok Cina pendatang, yang lahir di luar Kota dan tinggal menetap di Bengkulu belum terlalu lama jika dibandingkan dengan kelompok pertama. Pada umumnya kedua kelompok adalah golongan Cina peranakan, karena Cina totok sudah tidak lagi ditemukan dengan adanya perkawinan campur antara orang Cina dan orang Bengkulu, dan terhentinya arus migrasi orang-orang Cina dari daratan Cina ke Indonesia.

Orang-orang Cina, baik Cina Bengkulu asli maupun Cina pendatang, termasuk ke dalam golongan Cina peranakan dan sudah berstatus Warga Negara Indonesia (WNI). Status WNI ini merupakan faktor yang mendukung proses pembauran atau asimilasi. Faktor pendukung lainnya adalah proses pembauran yang berjalan alami melalui pendekatan kekeluargaan dan budaya, disamping pendekatan agama, politik, ekonomi dan sosial kemasyarakatan.


Status sosial sebagai golongan Cina peranakan menunjukkan ciri dalam kehidupan yang lebih terbuka. Selain itu, kesederhanaan dalam bidang usaha perekonomian membuat situasi kehidupan yang lebih seimbang dengan masyarakat setempat. Pola pemukiman yang sudah tidak terkonsentrasi secara ketat, hidup berbaur dengan masyarakat setempat, membawa mereka lenyap dalam kehidupan yang intim di tengah masyarakat setempat.
Meskipun ada sebagian Cina peranakan yang masih bersikap arogan, terutama kelompok Cina pendatang, namun tidak dapat disangkal bahwa proses pembauran golongan Cina peranakan di Kota Bengkulu cukup berhasil dan berjalan secara alamiah. Identitas sebagai golongan peranakan yang berstatus WNI merupakan titik tolak untuk mendukung kesatuan bangsa. Dari kenyataan yang tampak, proses pembauran melalui perkawinan campur dan kebiasaan sehari-hari, serta bahasa yang digunakan, telah menunjukkan bahwa proses asimilasi telah berjalan lancar dan apa adanya.

Dari segi agama agaknya masih perlu menjadi pertimbangan untuk menganggapnya sebagai faktor pendukung, mengingat kesadaran agama di kalangan Cina tidak dapat dikatakan baik. Apalagi dihubungkan dengan agama masyarakat setempat yang mayoritas Islam. Namun demikian, terhadap orang Cina yang telah menganut agama Islam dan menunaikan kewajiban sebagaimana mestinya, proses asimilasi benar-benar telah tercipta. Dengan demikian, berarti agama dapat dipastikan sebagai faktor pendukung bagi proses pembauran. Berdasarkan kenyataan bahwa banyak orang Cina yang telah menganut agama Islam dan dapat hidup berdampingan secara intim dengan masyarakat setempat, maka pendapat yang mengatakan bahwa agama Islam khususnya merupakan kesulitan utama dalam proses asimilasi di Indonesia tidaklah benar.


Dari beberapa penjelasan yang telah diuraikan, masih terdapat faktor penghambat dalam usaha pembauran tersebut. Adanya perasaan in group feeling yang tampak pada diri orang Cina Bengkulu, terutama Cina pendatang yang secara ekonomi sangat kaya. Rasa solidaritas kelompok akan jelas terlihat terutama pada generasi sekarang, yaitu di kalangan usia muda. Selain itu, sikap dan penerimaan masyarakat terhadap kelompok Cina pendatang berusia muda ini ikut memperlambat jalannya proses pembauran.

Namun demikian, adanya faktor penghambat tersebut tidaklah menjadi karakteristik umum Cina Bengkulu. Terdapat beberapa faktor yang mempermudah dan membantu. Diantaranya faktor penguasaan bahasa daerah setempat yang sangat baik. Orang-orang Cina Bengkulu, terutama Cina usia muda, tidak pandai dan memahami bahasa Cina. Kemudian faktor yang penting ialah tidak ditemukan hal yang bersifat eksklusif, seperti organisasi dan pemukiman yang khas Cina.






















4.Letak Dan Orientasi Rumah Tradisional China



1.Relasional-Harmoni
Harmoni adalah salah satu tema pokok filsafat Cina. Penonjolan gerak dan diam, sedikit dan banyak, kaligrafi(diam) dan panah (gerak) dalam film The Hero, sebenarnya sebagai upaya untuk menunjukkan bahwa Cina berparadigma: di antara dua kutub harus dicari jalan tengah, keseimbangan, hubungan relasional, harmoni. Relasional-harmoni tersebut dapat kita lihat juga dalam paradigma Cina yang cukup filosofis, seperti:  Pertama, Yin-Yang: adalah dua prinsip induk dari seluruh kenyataan. Yin itu bersifat pasif, prinsip ketenangan, surga, bulan, air, perempuan, simbol kematian, dan dingin. Yang itu prinsip aktif, gerak, bumi, matahari, api, laki-laki, symbol untuk hidup dan simbol panas. Segala sesuatu dalam kenyataan manusia, adalah sintesis harmonis dari derajat Yin dan Yang tertentu.

Yin-Yang saling tergantung dan saling melengkapi, selalu berhubungan dan secara terus-menerus saling memberi kekuatan, simbiosis mutualistis. Jadi, antara Yin dan Yang, terjadi keseimbangan, harmoni. Menurut Tao The Ching, suatu kekuatan, objek atau gagasan tak akan lengkap bahkan tak berarti tanpa ditunjang keadaan sebaliknya. Kesulitan dan kemudahan saling melengkapi. Panjang dan pendek saling membanding Tinggi dan rendah saling membedakan. Kebaikan tak punya arti tanpa kejahatan, kecantikan tak akan dipandang tanpa kehadiran si buruk sebagai pembanding. Kedua, Feng Shui: yang ditekankan adalah harmoni antara manusia dengan alamnya. Atmosfir rumah, misalnya bisa berpengaruh pada manusia yang menghuni rumah tersebut. Ketiga, Penghormatan Leluhur dan Dewa-Dewi: di balik ritual penghormatan kepada leluhur dan dewa-dewi, sebenarnya ada yang perlu dicapai orang Cina yakni demi membina relasi terhadap leluhur dan dewa/i. Roh nenek moyang (makhluk halus) bagi orang Cina dipahami secara fisikal. Ia juga bisa memberi rezeki, kemakmuran kepada anak cucu-cicitnya. Oleh karena itu, relasi itu penting agar hubungan kekeluargaan (dengan nenek moyang) tidak pernah putus. Penghormatan kepada nenek moyang merupakan intisari dalam kepercayaan tradisional Tionghoa. Ini dikarenakan pengaruh ajaran Konfusianisme yang mengutamakan bakti kepada orang tua termasuk leluhur jauh. Penghormatan dewa-dewi: Mayoritas dewa atau dewi yang populer adalah dewa-dewi yang merupakan tokoh sejarah, kemudian dikultuskan sepeninggal mereka karena jasa yang besar bagi masyarakat Tionghoa di zaman mereka hidup

3.Pluralisme
Orang Cina sangat menghargai pluralisme, keperbedaan. Penerimaan mereka terhadap pluralisme dapat kita lihat dalam paham mereka tentang: Pertama, Toleransi: Bangsa Cina pada dasarnya menghargai pendapat orang lain, sehingga Cina memandang pluralitas sebagai hal yang mesti diterima, wajar. Kedua, Perikemanusiaan: Pemikiran Cina lebih antroposentris (humanis) daripada filsafat Barat. Prinsip humanis ini, merupakan ajaran Konfusius. Menurut orang Cina, manusia dapat menentukan sendiri nasib dan tujuannya. Ketiga, Sinkretisme: Kepercayaan tradisional Tionghoa sering terkesan sinkretisme antara beberapa kepercayaan dan filsafat antara lain Buddhisme, Konfusinisme dan Taoisme. Kepercayaan tradisional Tionghoa ini juga mengutamakan lokalisme seperti dapat dilihat pada penghormatan pada datuk di kalangan Tionghoa di Sumatera sebagai pengaruh dari kebudayaan Melayu
4. Gerak dan Diam (hening)
Dalam film The Hero, kedua terminologi ini begitu tampak. Pemimpin Zhao melalui kaligrafinya percaya bahwa mereka tidak apa-apa dengan serangan panah dari Qin. Zhao percaya bahwa panah (bergerak) bisa dilawan dengan hanya duduk diam sambil melukis kaligrafi. Jadi, yang bergerak dilawan dengan yang diam. Dalam salah satu artikel, Rinzai, seorang Master Zen (sekitar abad ke-9 masehi) pernah berkata “Jika kamu ingin menghayati Zen dengan bergerak, hal itu berarti memasuki keheningan. Jika kamu ingin menghayati Zen di dalam keheningan, hal itu berarti memasuki gerak”. Diam, dalam filsafat Cina di sebut Chanisme, mengajarkan tentang: perwujudan ketunggalan sejati individu dengan budi semesta (kekosongan). Budi semesta dipahami sebagai wu nian (tiada pikiran), wang jing (melupakan perasaan), dan ren xin (membiarkan budi menempuh jalan sendiri)- lihat Ensiklopedi Nasional Indonesia, jilid 4 (Jakarta: PT Cipta Adi Pustaka, 1989), hlm., 138.
5.Konstruksi Berpikir
Konstruksi Berpikir yang mengacu pada “Pola Tiga” (seperti tritangtu-nya Sunda). Pola tiga orang Cina tercermin dalam paradigma berpikir dan bertindak mereka, misalnya :Pertama, paham tentang pedang. Dalam film The Hero, ada 3 tahapan dalam memahami apa itu pedang. Pertama, pedang adalah manusia dan manusia adalah pedang. Singkatnya ada kombinasi antara manusia dan pedang. Bahkan rumput yang ada di tangan manusia pun bisa menjadi pedang. Kedua, pedang ada di dalam hati. Ketiga, tidak (perlu) ada pedang. Tahap terakhir ini merupakan tahapan tingkat tinggi. Karena di sini dipahami bahwa pedang bukan lagi untuk membunuh melainkan untuk kedamaian, memperjuangkan hidup. Kedua, 3 Karakter Marga: pertama, marga yang terdiri dari satu karakter.
Kedua, marga yang berkarakter ganda. Ketiga, marga yang berkarakter 3 sampai 9. Angka 9 berarti kelipatan dari angka tiga juga. Di balik pemakaian marga ini sebenarnya juga mau mengungkapkan bahwa Cina selalu terikat pada kultur, walaupun mereka berada di perantauan . Ketiga, tiga harta kehidupan dalam ilmu kesehatan Taoisme: jing (esensi), chi (energi), dan shen (spirit). Seperti Yin dan Yang, tiga harta ini berbeda dan terpisah tapi mereka saling bergantung antara satu dengn lainnya, tapi tidak saling melebur. Chi adalah mediator, penengah, penghubung. Menurut Taoisme, semua bentuk kehidupan di jagat ini digerakkan oleh chi yang notebene tak kelihatan, hening, tak berbentuk sebelum menembus segala sesuatu. Pertama, Jing juga masih mengandung 3 unsur: esensi darah, esensi hormon, esensi yang yang termasuk cairan berat ( kelenjar, pelumas di persendiaan tulang dan jaringan lain yang berhubungan dengan air mata, keringan dan urine. Kedua, Chi terbagi tiga: yuan-chi (energi primordial, biasanya ada pada anak-anak), yang-chi (energi yang berkembang dalam tubuh selama berlangsungnya hubungan seksual yang bersatu dengan kehangatan, kecerahan dan gerak) dan wei-chi (energi pelindung). Menurut versi Feng shui, energi terdiri dari 3 macam: Pertama, Heaven Chi (Tian Chi) : energi langit/semesta yang terpancar dari surga ke bumi (seperti, sinar matahari, sinar bulan, daya tarik bulan yang menyebabkan pasang-surut laut. Kedua, Di Qi atau Earth Chi: menyerap chi alam semesta dan berpengaruh terhadap bumi seisinya. Bangsa Cina percaya bahwa Earth Qi menyusun garis dan pola energi, termasuk medan magnet bumi dan medan panas bumi. Energi ini juga harus seimbang, kalau tidak maka gempa akan terjadi. Ketiga, Ren Chi (energi manusia) yang terpengaruh oleh chi Tian Chi, dan Di Qi. Ketiga, Shen (spirit): Taoisme menerima shen sebagai kumpulan bunga-bunga dari “tri-tunggal” Tao, yang melayani esensi tubuh seperti layaknya akar pohon dan energi sebagai batang penghubung.





6. Sirkulasi Energi
Dalam ilmu feng shui, diyakini bahwa pada dasarnya semua yang ada di jagad raya ini adalah energi (panas, kimia, gerak, cahaya, elektromagnetis, dll.). Oleh sebab itu, siklus energi dalam rumah, misalnya akan berpengaruh pada banyak aspek kehidupan penghuninya. Manfaat feng shui dalam rumah sangat berarti terutama dalam menjaga kesehatan dan juga mengantisipasi gangguan lainnya bagi sipenghuni rumah. Misalnya, pasangan suami istri susah mendapatkan anak, bisa jadi karena ada yang tidak cocok dengan tata rumah, ranjang, asesoris rumah lainnya. Singkatnya, Cina berparadigma (dalam feng shui) bahwa manusia mesti menyatu dengan alamnya. Makanya, feng shui juga diartikan sebagai tatanan yang harmonis antara alam dengan makhluk hidup. Bahkan menurut Lillian Bridges, Feng shui bisa diartikan sebagai prinsip penyeimbangan kelaziman alam lewat penempatan benda-benda estetika.
7.Tsunami dan Gempa: upaya mencari keseimbangan
Dalam ilmu feng shui, tsunami atau gempa merupakan upaya Heaven Qi mencari keseimbangannya: “suatu saat untuk meratakan penyebarannya, angin harus kencang bertiup, sesekali terjadi kekeringan di muka bumi, hujan turun berlebihan bahkan sampai tornado, meluapkan lautan atau tsunami, semuanya itu semata-mata sebagai upaya Heaven Qi mencari keseimbangannya”.



5.Pengaruh Sistem Kekerabatan dan Kepercayaan Pada Arsitektur Tradisional China

1.Pengaruh Riligi Terhadap Perkembangan Arsitektur Cina

Perkembangan dunia arsitektur terjadi di seluruh penjuru dunia. Perkembangan tersebut disebabkan berbagai macam alasan dan keadaan. Iklim dan lingkungan salah satu yang membentuk kebudayaan manusia. Kebudayaan mempengaruhi timbulnya arsitektur yang terus berkembang hingga saat ini sejalan dengan majunya tingkat berpikir manusia, selain itu juga disebabkan kepercayaan atau tepatnya agama.

Buku ini mengungkapkan bagaimana suatu kepercayaan atau religi berpengaruh pada suatu perkembangan arsitektur. Buku ini juga mengenalkan sejarah perkembangan arsitektur India, Cina dan Jepang secara khusus, terutama pembahasan tentang bagaimana suatu kepercayaan atau religi berpengaruh pada arsitekturnya

Sebuah seri buku Sejarah Kebudayaan Indonesia telah terbit dalam tahun 2009 ini,
dan terdiri atas delapan jilid. Penerbitnya adalah P.T. RajaGrafindo Persada, sedangkan
yang mengkoordinasikan dan mendanai penulisannya adalah Direktorat Geografi Sejarah
, Direktorat Jendral Sejarah dan Purbakala, Departemen Kebudayaan dan Pariwisata. Seri
buku ini, yang keseluruhan jumlah halamannya mencapai 2155, dimaksudkan sebagai
semacam pemutakhiran terhadap buku R. Soekmono yang cukup ringkas, Pengantar
Sejarah Kebudayaan Indonesia yang terdiri dari 3 jilid dan terbit tahun 1973. Buku baru
tahun 2009 ini diancangkan sebagai buku dasar tentang Sejarah Kebudayaan Indonesia
yang mengacu ke hasil-hasil penelitian mutakhir. Editor umum dari keseluruhan seri
adalah Mukhlis PaEni, sedangkan masing-masing dari kedelapan buku itu mempunyai
seorang Editor Tema dan sejumlah penulis.
Terdapat perbedaan susunan dasar antara buku Soekmono dan buku terbitan 2009
ini. Kalau tiga jilid buku Soekmono masing-masing membahas secara umum zamanzaman
yang terpisah, yaitu “prasejarah”, “klasik”, dan “Islam”, maka buku 2009 ini
memilah delapan aspek kebudayaan yang masing-masing ditinjau secara lintas-zaman.
Kalau dibandingkan dengan ketujuh “unsur kebudayaan” yang diajarkan oleh Prof. Dr.
Koentjaraningrat dalam buku-buku dasarnya tentang Antropologi, maka terlihat bahwa
dalam buku 2009 ini “sistem ekonomi”, atau “sistem mata pencaharian hidup” tidak
terdapat, namun sebaliknya “sistem kesenian” dirinci ke dalam tiga jilid terpisah, yaitu:
“Arsitektur”, “Seni Pertunjukan dan Seni Media”, dan “Seni Rupa dan Desain”. Adapun
bahasan tentang seni sastra dimasukkan dalam satu jilid dengan persoalan bahasa dan
aksara, yang memang merupakan satu rumpun urusan.
Adapun catatan khusus mengenai masing-masing jilid yang dapat disebutkan adalah
sebagai berikut.

Religi dan Falsafah. Jilid ini memusatkan pembahasan pada berbagai sistem religi yang
dikenal di Indonesia, baik yang berkembang khusus di dalam suatu satuan etnik (suku
bangsa) maupun yang dianut secara meluas lintas etnik. Patut dihargai upaya untuk
2
mengangkat sistem-sistem religi pada beberapa masyarakat etnik, meski belum dapat
meliput keseluruhan sistem-sisten religi etnik yang ada di seluruh Indonesia. Adapun
yang masih kurang mendapat tempat adalah bahasan tentang falsafah, baik yang terkait
dengan, atau bahkan merupakan bagian integral dalam ajaran agama, maupun pemikiran
kefilsafatan yang dikembangkan di luar sistem-sistem religi. Adapun secara umum dapat
dikatakan bahwa pencantuman referensi kurang ketat, sehingga pembaca tak dapat
melacak sumber-sumber yang digunakan.

Sistem Sosial. Paparan yang bagus dalam jilid ini adalah sorotan yang tajam tentang
Sulawesi dengan berbagai golongan etniknya serta struktur sosial di dalamnya, yang
disertai pula dengan catatan tentang hubungan-hubungan budaya dengan masyarakat dari
daerah-daerah lain. Secara rinci khususnya diberikan paparan mengenai struktur
organisasi sosial pada masyarakat Bugis di berbagai pusat. Gambaran struktural
masyarakat di Masa Islam dan Masa Kolonial tampak gamblang, yang tentunya paparan
itu dimungkinkan oleh terdapatnya data yang lebih cukup dibandingkan dengan untuk
zaman-zaman sebelumnya. Namun sayang gambaran tentang masa Orde Baru terlalu
disertai penilaian negatif. Dapat disebutkan di sini 3 contoh berikut. . Dikatakan pula
bahwa istilah Jawa Kuna lain, yaitu raka berarti “calon raja”, padahal istilah itu adalah
sebutan bagi banyak putra raja, yang kadang dikaitkan dengan ‘daerah kuasa’ atau
dengan urutan sebutan anak raja yakni hino, halu, sirikan, dan wka.
.
Arsitektur. Jilid ini memperlihatkan perancangan struktur yang konseptual, di mana
tinjauan sinkronik dan diakronik terasa memadu. Bab pertama mengantar dengan diskusi
mengenai apakah Sejarah Arsitektur itu. Kemudian menyusul bab yang berancangan
sinkronik, berjudul “Bermukim di Nusantara”, menampilkan prinsip-prinsip dasar tata
hunian dan varian-variannya pada berbagai suku bangsa di Indonesia. Suatu aspek
diakronik ditampilkan pula dalam bab ini dengan membahas awal-awal hunian di masa
prasejarah. Bab-bab berikutnya secara urutan waktu membahas hasil-hasil sentuhan
dengan kebudayaan-kebudayaan dari luar Indonesia. Maka ada bab berjudul “Perjumpaan
dengan Budaya India dan Cina”, kemudian “Perjumpaan dengan Budaya Islam”, lalu
“Perjumpaan dengan Budaya Eropa”. Untuk mengakhiri buku ini ditampilkan bab yang
3
diberi judul “Membangun Watak Bangsa”, yang menampilkan pergulatan para arsitek
Indonesia, termasuk Bung Karno, untuk menghadirkan karakter Indonesia, dengan
harapan akan tampil kuatnya sesuatu yang dapat disebut “Arsitektur Indonesia”.

Bahasa, Sastra, dan Aksara. Uraian mengenai bahasa di jilid ini dimulai dengan
tinjauan kebahasaan secara umum, antara lain adanya kemungkinan perbedaan pendapat
para ahli mengenai dua sistem kebahasaan: apakah merupakan dua bahasa terpisah
ataukah merupakan varian satu sama lain. Dibahas pula tentang jumlah penutur yang
tergolong banyak di antara bahasa-bahasa di dunia, sementara terdapat pula ancaman
kepunahan bagi bahasa-bahasa lain yang cenderung menyusut penuturnya, antara lain
disebabkan oleh penjajahan, kawin campur, emigrasi, dan lain-lain. Suatu jenis bahasa
yang tak disebut di sini adalah apa yang disebut “bahasa langit” dari para bissu di
Sulawesi Selatan, yang memang tak dapat dipelajari oleh orang-orang di luar para bissu.
Adapun bab mengenai sastra memilah antara sastra tradisional dan sastra modern. Sastra
tradisional tertulis dilihat pada beberapa lingkup budaya, yaitu: Melayu, Sunda, Bali,
Jawa, dan Sulawesi Selatan.

Seni Rupa dan Desain. Jilid ini disertai ilustrasi yang bagus-bagus, yang benar-benar
membantu menjelaskan argumen. Liputannya mulai dengan seni rupa masa Prasejarah
hingga ke perkembangan mutakhir seni rupa, di mana termasuk ke dalamnya komik
maupun berbagai bentuk seni rupa kontemporer. Mengenai yang terakhir ini disebut
sepintas mengenai jenis ungkapan seni rupa yang dinamai “instalasi” dan “performanceart”,
namun pengertian dasar dan kemungkinan-kemingkinan varian wujudnya tidak
diberikan contohnya, meski sebenarnya apa yang pernah tersaji di Indonesia di sekitar
cara ungkap ini cukup banyak dan beragam. Ada dibahas pula seni rupa dalam tradisi
suku-suku bangsa (yang secara kurang pas disebut “etnis-etnis”, sedangkan yang
dimaksud tentunya “satuan etnik” atau “golongan etnik”). Ini terbatas pada Nias dan
Dayak, dan masuknya ke dalam sub-bab mengenai Prasejarah Awal, suatu penggolongan
yang masih dapat diperdebatkan! Selebihnya, uraian tentang “Pengaruh Seni Rupa
Hindu-Buddha”, “Pengaruh Seni Rupa Islam dan Cina”, “Pengaruh Seni Rupa Barat
hingga Kemerdekaan”, serta bab berikutnya mengenai komik dan desain sangat baik
4
runutannya. Adapun bab terakhir mengenai seni rupa Modern dan Kontemporer cukup
informatif .

Seni Pertunjukan dan Seni Media. Jilid ini diawali dengan paparan mengenai unsurunsur
dasar estetik pada cabang-cabang seni yang termasuk ke dalamnya, yaitu: musik,
tari, teater, dan seni media (rekam). Selanjutnya dibahas pembatasan “seni pertunjukan”
dan “seni media”: tentang kontinuitas dan perbedaan antara keduanya. Sebelum memulai
tinjauan dari zaman ke zaman, terlebih dahulu dikemukakan permasalahan sumber data
dan upaya rekonstruksi yang diperlukan mengenai seni pertunjukan di masa lalu.
Kemudian dibahas tentang berbagai kemungkinan fungsi seni pertunjukan, yang meliputi
fungsi-fungsi sosial, religius, estetik, dan ekonomik. Setelah itu dicobakan suatu tinjauan
umum dari zaman ke zaman, dengan fokus pada persoalan konsep, gaya, dan teknik..
Setelah merunuti perkembangan melalui zaman-zaman Hindu-Buddha, Islam dan
Kolonial, serta bab sisipan mengenai awal perkembangan seni media rekam, maka jilid
ini diakhiri dengan bab tentang “masalah-masalah aktual mutakhir”, yang antara lain
menampilkan tentang apa yang dinamakan “sinema independen”, tentang animasi (baik
untuk iklan maupun cerita), serta tentang Industri Budaya. Terakhir diberikan paparan
singkat tentang Art Summit Indonesia, suatu festival internasional tiga-tahunan di bidang
seni pertunjukan yang disumbangkan oleh Indonesia untuk dunia, yang dimulai pada
tahun 1995.

Sistem Pengetahuan. Jilid ini mulai dengan bab “Sistem Pengetahuan Tradisional”, di
mana dibahas beberapa bidang amatan, yaitu: asal mula alam dan kehidupan, musim,
perbintangan; penggolongan lingkungan biota dan abiota; pengetahuan tentang ruang dan
waktu; pengetahuan tentang tulisan; pengetahuan tentang bangunan; sistem pemerintahan
tradisional; serta pengetahuan pengolahan makanan (peragian, pengawetan, pewarnaan).
Masing-masing golongan pengetahuan tersebut diberi contoh seadanya dari tradisi
beberapa suku bangsa, khususnya yang disebut adalah Dayak, Batak, Timor, Sunda, Bali,
dan Jawa. Inilah yang kiranya masih dapat dikembangkan dengan contoh-contoh pada
lebih banyak suku bangsa, dan juga bisa berkenaan dengan jenis pengetahuan yang lebih
banyak, seperti misalnya berkenaan dengan bercocok tanam, berternak, pengadaan dan
5
penataan busana, dan lain-lain. Sesudah paparan mengenai berbagai aspek sistem
pengetahuan tradisional itu menyusul dua bab akhir dalam jilid ini, masing-masing
tentang periode “kolonial” dan “kemerdekaan”. Pada bagian ini lebih banyak
dikemukakan tentang sarana-sarana pengembangan (ilmu) pengetahuan, baik yang
berupa organisasi-organisasi maupun instansi-instansi dan badan-badan yang didirikan
pemerintah. Di antaranya dapat disebutkan Bataviaasch Genootschap van Kunsten en
Wetenschappen yang teratur menerbitkan majalah (TBG = Tijdschrift Bataviaasch
Genootschap) maupun terbitan tentang topik-topik kajian khusus (disebut seri
Verhandelingen). Badan lain yang penting yang didirikan pemerintahan kolonial adalah
Volkslectuur untuk tugas menerbitkan buku-buku yang dinilai berguna. Badan penerbit
ini berlanjut hingga kini dengan nama Balai Pustaka. Sarana-sarana kelembagaan dari
masa Indonesia merdeka yang disebutkan antara lain adalah LBME (Lembaga Biologi
Molekuler Eijkman), BATAN (Badan Tenaga Atom Nasional), Pusat Penelitian
Arkeologi Nasional, dan LAPAN (Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional). Ada
dibahas juga tentang hak paten yang dapat diperoleh dari hasil penelitian yang inovatif ..



Sistem Teknologi. Jilid ini membahas teknologi yang terkait dengan mata pencaharian
hidup, serta dengan permasalahan komunikasi dan transportasi. pencaharian hidup itu
dibahas mengenai ‘teknologi’ berburu-meramu, perladangan, kenelayanan, peternakan,
serta pertanian irigasi, dan industri jasa. Uraian pada bab selanjutnya cenderung
menghubungkan langsung temuan-temuan prasejarah dengan keadaan masa kini,
khususnya pada suku-suku bangsa tertentu. Teknologi etnik yang dimunculkan sebagai
contoh mengenai aspek-aspek teknologi yang berbeda-beda adalah dari suku-suku
bangsa: Mentawai, Senggi dan Waropen (keduanya di Irian), Sakai, Dayak Rentenukng,
Kubu, Talang Mamak, Sunda, Tengger, Banjar, Bugis, Madura, Nusa Tenggara Timur
(tak diberi rincian mengenai suku-suku bangsa mana), Bali, dan Jawa. Bab terakhir
mengenai “industri barang dan jasa” dikhususkan pada transportasi dan komunikasi.
Gambar-gambar yang disertakan mengenai transportasi sangat menarik karena banyak
yang sekarang sudah tidak ada lagi.
6
Demikianlah sekilas catatan mengenai delapan jilid buku Sejarah Kebudayaan
Indonesia terbitan tahun 2009 yang merupakan upaya nyata untuk memutakhirkan
pengetahuan khalayak pembaca pada umumnya. Buku-buku itu pun enak dilihat karena
rupanya telah diupayakan benar untuk menyertakan peta, skema, gambar dan foto yang
mendukung teks paparannya.



6.Konsep Ruang Dalam Arsitektur Tradisional China


Rumah di seluruh China dalam masa pra-modern memiliki banyak kesamaan. Cara meletakkan keluar rumah adalah serupa di antara kaya dan miskin, baik di awal dan kemudian kali. t. Bahan dan teknik tertentu, seperti bumi ditumbuk yayasan, kayu pembingkaian, dan penggunaan batu bata dan genteng yang hadir di seluruh negeri. . Meskipun demikian, rumah itu tidak berarti identik di semua bagian dari Cina. . Jika kita melihat rumah-rumah di berbagai daerah kita dapat melihat banyak hal yang berbeda dari satu tempat ke tempat lain.
Walaupun beberapa contoh dari rumah-rumah Cina selamat dari zaman purbakala, menggunakan bukti arkeologis, para sarjana telah menetapkan bahwa banyak dari prinsip-prinsip dasar desain rumah cina, seperti penekanan pada orientasi, tata letak, dan simetri pergi jauh kembali dalam sejarah Cina. . Dalam unit ini kita akan membahas unsur-unsur dasar pertama dari sebuah rumah Cina, lalu melihat bagaimana rumah bervariasi oleh kekayaan dan variasi regional.


Teks untuk rumah ke kanan berkata: "Jika ada sebuah batu yang menyerupai guci anggur, rumah berubah menjadi 'tempat kepenuhan." The family will be rich and as soon as a wish is pronounced, gold and silver will come pouring out." Keluarga akan kaya dan segera setelah suatu keinginan diucapkan, emas dan perak akan datang mengalir keluar.


Orientation Orientasi
. Salah satu aspek yang paling mencolok dalam negeri Cina arsitektur adalah praktek membuat wajah rumah selatan . Ahli arkeologi telah menemukan bahwa banyak periode Neolitik-rumah persegi panjang dengan pintu menghadap ke selatan. Zhou periode permukiman juga diselenggarakan pada sumbu utara-selatan. , . Tempat tinggal awal ini tidak lagi ada, tetapi rumah-rumah di Cina, paling awal yang berasal dari dinasti Ming, juga menunjukkan kecenderungan untuk menghadapi selatan. Rumah yang dibangun hari ini juga dibangun menghadap ke selatan, jika ruang memungkinkan.
. Rumah menghadap selatan memiliki beberapa keunggulan.Dapatkah Anda memikirkan beberapa dari merek
. Pentingnya orientasi dikembangkan ke dalam praktek feng-shui yang secara harfiah berarti "angin dan air" tetapi sering diterjemahkan sebagai geomansi.
Feng-shui concepts also dictated the kinds of material used in buildings. Feng-shui juga konsep mendiktekan jenis bahan yang digunakan dalam bangunan. . Dikombinasikan dengan lokasi bangunan, bahan bangunan yang tepat diperkirakan kembali energi yang bermanfaat langsung bagi penduduk. ,. Yang paling umum bahan bangunan untuk rumah-rumah di Cina bumi dan kayu, yang keduanya memiliki asosiasi positif.



















. Fondasi rumah umumnya terbuat dari ditumbuk bumi, dan dalam beberapa situasi di mana kayu langka, bumi digunakan dalam konstruksi dindingdapat ditumbuk ke dalam bentuk atau dijadikan batu bata untuk dinding.
. Untuk atap, tergantung pada kekayaan keluarga, bahan bisa bervariasi. adalah bahan yang cukup umum untuk membuat ubin untuk atap. material. Di beberapa daerah, bagi orang-orang miskin, jerami dan bambu juga materi umum.
Bagaimana bahan bangunan ini berbeda dari yang ditemukan di lingkungan Anda?


. Di mana kayu yang tersedia dan terjangkau, itu digunakan untuk kerangka rumah, memberikan dukungan untuk atap. Sistem kerangka kayu untuk cina rumah dan bangunan lain yang distandarisasi oleh dinasti Ming dan berbeda dari kerangka kayu yang digunakan dalam bagian lain dunia. . Orang biasa bisa berbuat banyak dari konstruksi, tetapi sering ahli yang dibutuhkan untuk membingkai.
Woodblock print














   
. Tiga-rumah teluk dapat dipahami sebagai unit dasar rumah Cina. Tergantung pada ukuran dan kekayaan keluarga, rumah-rumah ini ditambahkan ke, seringkali dalam cara-cara standar. One Salah satu perpanjangan umum tiga rumah teluk adalah menciptakan sebuah halaman tempat tinggal Secara tradisional, satu keluarga akan berbagi ruang halaman.
Pekarangan rumah melambangkan arsitektur tradisional Cina. In Beijing, depicted here, such courtyard residences have been typical since the Yuan dynasty. Di Beijing, digambarkan di sini, misalnya tinggal halaman telah khas sejak Dinasti Yuan.
Can you identify a basic three-bay unit in this courtyard home? Dapatkah Anda mengidentifikasi dasar-teluk tiga unit di halaman ini rumah?
How many bays do you think are found in this dwelling? Berapa banyak bays Menurut Anda ditemukan di tempat tinggal ini?



Bird's eye view of courtyard house in Beijing Sekilas tentang halaman rumah di Beijing source sumber


A notable feature of the courtyard house is that the complex is fully enclosed by buildings and walls. Sebuah fitur penting dari halaman rumah adalah bahwa kompleks sepenuhnya tertutup oleh bangunan dan dinding. There are no windows on the outside walls, and usually the only opening to the outside is through the front gate. Tidak ada jendela di dinding luar, dan biasanya satu-satunya membuka ke luar adalah melalui gerbang depan.
Why do you think there are no windows on the outside of the compound? Menurut Anda, mengapa tidak ada jendela di luar kompleks?
What would be the appeal of living in this sort of courtyard compound? Apa yang akan menjadi daya tarik yang tinggal di halaman semacam ini senyawa?
SOME THOUGHTS BEBERAPA PIKIRAN


Ming dynasty woodblock print Dinasti Ming mencetak woodblock source sumber


It was not easy to see what a house contained by peeking through the front gate. Tidak mudah untuk melihat apa yang terkandung oleh sebuah rumah mengintip melalui gerbang depan. Courtyards were constructed so that when one looked through the first doorway of the house only a brick screen was visible. Halaman dibangun sehingga ketika seseorang melihat melalui pintu pertama dari rumah hanya layar bata terlihat.
Access to the rest of the house required first turning a corner. Akses ke seluruh rumah berubah pertama diperlukan sudut. Ideally, the main door did not line up exactly with the inner quarters. Idealnya, pintu utama tidak sejajar dengan tepat dengan ruang dalam.
What kind of impression would this type of entry give the visitor? Macam apa kesan jenis ini akan masuk memberikan pengunjung?
MORE MORE


A doorway of a Beijing courtyard house showing the screen wall Sebuah pintu sebuah rumah halaman Beijing menunjukkan dinding layar source sumber



The sizes of courtyard houses vary greatly depending on the wealth, size, and the taste of the family, but generally the compounds had an inner courtyard (or a series of inner courtyards) and were built on a north-south axis. Halaman ukuran rumah bervariasi tergantung pada kekayaan, ukuran, dan rasa keluarga, namun umumnya senyawa memiliki halaman dalam (atau serangkaian halaman batin) dan dibangun pada sumbu utara-selatan. Like the simple three-bay house, the door of the main building faced south. Seperti tiga-teluk sederhana rumah, pintu bangunan utama menghadap ke selatan. The line drawings below show how the courtyard shape could vary while retaining balance. Baris gambar di bawah ini menunjukkan bagaimana bentuk halaman bisa bervariasi sementara tetap mempertahankan keseimbangan.




Diagram of a three-sided courtyard house Diagram tiga sisi rumah halaman source sumber




Diagram of a four-sided courtyard house source Diagram dari halaman bersisi empat rumah sumber





Diagram of a two-courtyard house source Diagram dari rumah dua-halaman sumber


As the two-courtyard house diagram above shows, new courtyards could be added creating a multi-courtyard dwelling. Ketika dua rumah halaman diagram di atas menunjukkan, halaman baru dapat ditambahkan menciptakan multi-halaman tempat tinggal. Doorways to the east or west could open into a garden. Pintu ke timur atau barat bisa membuka ke sebuah taman.


source sumber


Uses of rooms in a typical two-courtyard house plan at left: Menggunakan kamar dalam dua-halaman khas rumah rencana di sebelah kiri:
1. 1. Main entrance Pintu masuk utama
2. 2. Rooms facing the rear. Kamar menghadap ke belakang. The rooms facing the back, those near the entrance to the courtyard were reserved for the servants if the family was well-off. Kamar-kamar menghadap ke belakang, orang-orang di dekat pintu masuk ke halaman yang disediakan untuk para pelayan jika keluarga mampu.
3. 3. First courtyard. Halaman pertama. Cooking was carried out here, and the second courtyard was a living space. Memasak dilakukan di sini, dan halaman kedua adalah ruang hidup.
4. 4. East and west-side rooms, for the sons and daughters, or the sons' families. Timur dan barat-ruangan samping, untuk putra dan putri, atau putra-putra keluarga.
5. 5. Inner Hall. Inner Hall. Where the members of the family greeted guests or where family ceremonies were held. Di mana anggota keluarga menyambut tamu atau di mana diadakan upacara keluarga.
6. 6. Main building. Bangunan utama. Living space for parents. Ruang hidup bagi orangtua.
7. 7. Small side rooms. Kecil ruangan samping. These used for children and extended family members. Ini digunakan untuk anak-anak dan anggota keluarga.
What can the diagram tell us about the organization of Chinese families? Apa yang bisa diagram memberitahu kita tentang organisasi keluarga Cina?
Why do you think the rooms at the very back of the courtyard (number six on the diagram) are reserved for the older family members? Menurut Anda, mengapa kamar di bagian paling belakang halaman (nomor enam pada diagram) yang disediakan untuk anggota keluarga yang lebih tua?
ANSWER JAWABAN
The courtyard was not only the basis of design for Chinese homes, but was also used in the design of more complex structures such as palaces and temples. Halaman tidak hanya dasar desain rumah Cina, tetapi juga digunakan dalam desain struktur yang lebih kompleks seperti istana dan kuil-kuil.
The courtyard layout can be clearly seen in the overview of the temple at left. Tata letak halaman dapat dengan jelas dilihat dalam ikhtisar di sebelah kiri candi.


Fayuan Temple, Beijing. source Fayuan Temple, Beijing. Sumber
This temple is toured in the urban temples section of the Buddhism unit Candi ini berkeliling di kuil perkotaan bagian unit Buddhisme  


Although the three-bay house and its elaboration in the form of courtyard houses were the basic module of Chinese architecture, there was a great deal of regional variation. Meskipun teluk tiga rumah dan elaborasi dalam bentuk rumah-rumah halaman modul dasar dari arsitektur Cina, ada banyak variasi regional. Looking at the variation of house design can tell us a lot about climactic differences throughout China, as well as the different aspirations of people from different regions. Melihat desain rumah variasi dapat memberitahu kita banyak tentang perbedaan klimaks di seluruh China, serta aspirasi yang berbeda dari orang-orang dari berbagai daerah.
Continue with Lanjutkan
There has also been a great deal of variation in interior design and the . Terdapat juga banyak variasi.